Wednesday, May 29, 2019

Kunyaian, Istana Tapak Siring, dan Novel 7 Manusia Harimau

Oleh Udo Z Karzi


SUDAH lama ingin menulis ini, tetapi baru kesempatan. Tak aktual tak apa...

Diberitakan, empat rumah warga Pemangku Kunyaian Tatai, Pekon Tapak Siring, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat ludes terbakar, Minggu, 19 Mei 2019 lalu. "Peristiwa yang terjadi sekira pukul 12.20 WIB itu menghanguskan rumah warga yakni Kausar, M Khotwah, Din Ayu, dan Rasim," kata Peratin Tapak Siring Yantom.

Tentu, saya ikut sedih dan prihatin membaca kabar dari tanah kelahiran ini. Tapi, lebih sedih lagi karena sampai sekian lama tidak ada yang menyinggung-nyinggung 'sejarah' yang disimpan rapi oleh Kunyaian atau Tapak Siring. Di balik musibah, ada hikmah. Mungkin, kebakaran yang terjadi ingin memberi tahu dunia bahwa ada sebuah tempat yang bernama Kunyaian dan Tapak Siring.

Dan, begitu mendengar dua nama ini saya langsung tersentak. Sebagai ulun Lampung yang sering mendapatkan cerita tumbai (tempo doeloe) dari orang-orang tua dan beberapa bacaan lama, saya merasakan getaran tersendiri tentang nama ini. Nama Kunyaian dan Tapak Siring setidaknya menghubungkan ingatan saya dengan dua hal:

Pertama, tentang keberadaan Istana (Kraton) Buay Nyerupa di Kunyaian, Tapak Siring, Sukau, Lampung Barat. (Lihat: Istana Tapak Siring)

Kedua, tentang novel, film, dan serial //7 Manusia Harimau// yang mengambil latar dusun Kumayan, yang mirip-mirip dengan Kunyaian dan memiliki kaitan dengan legenda di Lampung Barat. (Lihat: Sinetron, Harimau, Umpu Nyerupa.. )


Rabu, 29 Mei 2019

Sunday, May 19, 2019

Rancak Bana

Oleh Udo Z Karzi


LEBARAN-LEBARAN selalu mengingatkan saya pada kampung halaman. Lahir di tengah masyarakat petani kopi di Liwa, Lampung Barat, saya merasa betapa besarnya anugerah Sang Pencipta atas kesuburan tanah Bumi Sekala Brak ini.

Cerita tentang nasib baik dan nasib buruk petani kopi juga mewarnai keluarga kami turun-menurun bergenerasi-generasi puluhan tahun, bahkan ratusan tahun silam.

"Kopi inilah. Tak ada tanaman lain," kata Abdul Hakim, tamong (kakek) saya almarhum.

Bagi Tamong Hakim, bertani itu ya berkebun kopi. Yang lain-lain seperti bersawah, bertanam sayuran dan buah-buahan hanyalah tanaman selingan sebelum menanam dan berkebun kopi.

Kopi itu andalan untuk hidup lebih layak, membangun rumah, menyekolahkan anak, dan mewujudkan mimpi-mimpi di masa depan.

Kengeyelan poyang yang diwarisi orang semacam Tamong Hakim dalam berkebun kopi ternyata tak pernah sia-sia. Ada kala harga kopi melonjak tinggi membuat petaninya memetik keuntungan berlipat ganda. Di tengah krisis moneter yang menyebabkan nilai rupiah merosot hingga Rp25.000 per Dollar AS pada tahun 1997-1998, para petani kopi Lampung Barat justru mendadak mendapat keuntungan besar karena harga kopi per kg mengikuti nilai kurs Dollar.

***

Tahun 1970-an hingga awal 1980-an sebelum saya urban ke Tanjungkarang adalah masa-masa di mana kehidupan kami lekat dengan kopi, mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, merawat, dan memanen, termasuk menjemur, mengolah biji kopi sampai siap dijual atau dinikmati.

Saya ingat betul pada saat musim petik kopi, saya dan adik-adik tidak akan diberi jajan. Kalau mau, ya harus memetik kopi sendiri, mengangkut sendiri dari kebun, menjemur, mengolahnya menjadi biji kopi sampai dijual.

"Kalau mau baju Lebaran, cari sendiri, ngunduh kahwa (memetik kopi) sendiri. Dijual untuk beli baju lebaran," kata Bak (ayah) yang saya ingat.

Kalau tidak sedang musim kopi, saya dan adik-adik tetap diwajibkan ke ladang, kebun atau sawah membantu mereka.

Begitulah menjelang Lebaran di bulan Ramadan di saat uang hasil penjualan kopi sudah terkumpul, kami anak-anak diajak Bak atau Mak ke Pekan Selasa (pasar setiap hari Selasa) tak jauh dari rumah. Di pekan ini, dijual berbagai kebutuhan, termasuk pakaian Lebaran.

Berjejer pedagang pakaian memenuhi lapak dan kios. Sementara calon pembeli memenuhi gang-gang di antara kios dan lapak.

Setiap pedagang bersaing merebut hati calon pembelinya. Harus pintar-pintar berbicara dan merayu konsumen.

"Ayu... Ayu... dijual... diobral murah... Yang jauh mendekat, yang dekat merapat... Ini model terbaru... Cocok untuk uyung... Cantik buat upik..." Dst.

Bahasa di pasar tercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Lampung.

Terdengar teriakkan, "Rancak bana" dari penjual pakaian yang memang mayoritas beretnis Minang.

Entah benar entah tidak, konon, ada peristiwa orang dari pekon yang sudah mencoba-coba dan mengepas-paskan gaun malah batal membeli hanya karena penjualnya bilang, "Amboi, rancak bana!"

Orang yang mau beli dan tampak antusias menjadi kehilangan minat. Sambil pergi, si ibu yang mengajak anak-anaknya mencari pakaian, berkata, "Ya, radu. Merancak, ani sai ngejual. Ija neram nyepok bareh (Ya, sudah. Kependekan, kata yang jual. Sini kita cari yang lain."

Induh, gaun helau, bang tiucakko 'rancak' kidah. (Entah, gaun bagus, kok dibilang kependekan). Hahaa...


Minggu, 19 Mei 2019


Sunday, May 12, 2019

Rendra, Anton, Ibu Maryunani

Oleh Udo Z Karzi


"RENDRA. Saya tidak suka membaca puisi-puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah karena menurut saya waktu itu puisi mereka sulit saya pahami. Tetapi, saat saya membaca buku puisi Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta//, saya langsung tertarik. Karena puisi dia sederhana dan mudah dipahami," kata Sapardi Djoko Damono (//Majas// No. 3 Vol 1/Mei-Juli 2019 hlm 49).

Membaca ini, saya langsung membayangkan Anton Bahtiar Rifa'i (SCTV) yang "menggilai" puisi-puisi Rendra sejak dulu -- sampai sekarang (?)

Seingat saya, sebagai redaktur budaya Surat Kabar Mahasiswa //Teknokra// Universitas Teknokra 1990-an, beberapa puisi Anton pernah saya muat di lembar sastra koran kampus ini. Sampai kemudian dia bergabung di //Teknokra// dan sempat menjadi atasan saya sebagai pemimpin redaksi (1994--1996). Jadi, Anton ini penyair (juga) yang tak tercatat. Hehee...

Sehat terus ya, Ton.👍

Mundur jauh ke belakang, ternyata penyair yang paling berkesan ketika di SMP Liwa tahun 1984 diperkenalkan puisi oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia Ibu Maryunani dan Ibu Yetty Puspenda adalah Rendra. Ya, benar saya suka puisi-puisi balada Rendra.
Satu judul yang nempel dalam ingatan: "Balada Terbunuhnya Atmo Karpo". Karya Rendra ini tercantum utuh dalam buku pelajaran sastra untuk SMP karangan Abdullah Ambary. Sajak ini mirip-mirip dengan puisi "Jante Arkidam"-nya Ajip Rosidi.

Kebetulan di Lepau Buku, terdapat buku kumpulan sajak pertama Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta// terbitan Pustaka Jaya, Bandung, cetakan keempatbelas, 2013 (cetakan pertama, Jakarta 1957).

Saya kutipkan sajak ini dari hlm 16--17:

BALLADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.

--- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang 
papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung
dosa

Anak panah empat arah dan musuh silang tiga
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.

--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.

--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak
angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya. 


Minggu, 12 Mei 2019